Jakarta –
Sekilas tidak ada yang aneh di puncak bukit Tel Qedesh. Namun jika dilihat lebih dekat, kita bisa melihat tanda-tanda tempat tinggal manusia di masa lalu mulai dari pecahan ambang pintu hingga fondasi tembok.
Ini adalah reruntuhan desa Qadas di Palestina, yang penduduknya terusir dan terpaksa mengungsi saat Peristiwa Nakba tahun 1948. Nakba yang artinya bencana atau malapetaka, merupakan peristiwa kelam penghancuran masyarakat dan tanah air Palestina.
Di tahun 1948, terjadi eksodus dan pemindahan permanen sebagian besar orang Arab Palestina, baik di Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza, maupun di kamp-kamp pengungsi Palestina di seluruh wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peristiwa Nakba terjadi selama dan setelah perang di Palestina tahun 1948, termasuk pendirian negara Israel, eksodus 700 ribu orang Palestina, depopulasi dan penghancuran lebih dari 500 desa Palestina, penghapusan geografis, penyangkalan hak Palestina untuk kembali, hingga penciptaan pengungsi permanen Palestina dan penghancuran besar-besaran masyarakat Palestina.
Desa Qadas yang ditinggalkan kemudian dibuldoser oleh otoritas Israel sehingga para pengungsi tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan kembali rumah dan tanah mereka.
Selama tiga tahun terakhir, situs tersebut telah menjadi fokus proyek penggalian para arkeolog Israel, yang berupaya mengungkap reruntuhan tersebut dan mencari penjelasan bagaimana hari-hari terakhir Qadas sebelum dihancurkan.
“Ini adalah sesuatu yang telah tersembunyi, terhapus dari sejarah, dan tugas arkeolog adalah mengungkap masa lalu yang tersembunyi dan menyoroti relevansinya untuk masa kini, meskipun kita sedang berhadapan dengan peristiwa yang terjadi 75 tahun yang lalu,” kata Prof. Raphael Greenberg dari Tel Aviv University yang memimpin proyek ini bersama dengan arkeolog independen Gideon Sulimani.
Menggali Peristiwa Nakba
Penggalian di Qadas mengungkap wawasan baru tentang sejarah desa tersebut selama perang tahun 1948. Namun secara lebih luas, hal ini bertujuan untuk memperkenalkan warga Israel secara langsung dengan Nakba, sebuah topik kontroversial dan sering diabaikan, serta menyoroti arkeologi Israel, praktiknya, dan perannya dalam menghapus sejarah Palestina baru-baru ini.
Secara teknis, para arkeolog Israel telah menggali banyak desa-desa Palestina yang hancur sebelumnya, karena pemukiman kuno di Levant sering kali ditandai dengan kesinambungan selama ribuan tahun.
Israel dipenuhi dengan gundukan yang terbentuk dari sisa-sisa pemukiman manusia yang bertingkat dan dibangun di atas satu sama lain selama ribuan tahun.
Dalam banyak kasus, lapisan atas gundukan ini merupakan pemukiman Arab seperti Qadas, yang ditinggalkan pada tahun 1948 dan mungkin sudah ada sejak Zaman Ottoman atau sebelumnya.
Namun Greenberg dan Sulimani mencatat, para arkeolog yang bekerja di Israel akan selalu menggali di sekitar atau melalui lapisan atas ini untuk mendapatkan sisa-sisa yang lebih ‘segar’ di bawahnya.
Bangunan-bangunan Romawi dan Helenistik yang monumental, kota-kota besar di Zaman Perunggu, dan, tentu saja, segala sesuatu yang berkaitan dengan Zaman Alkitab dan keberadaan Yahudi kuno di Tanah Suci, semuanya diutamakan ketimbang mempelajari kehidupan komunitas Palestina pada abad ke-19 dan ke-20.
“Hal pertama yang kami temui di sebagian besar penggalian di Israel adalah desa Palestina. Lapisan atas ini tidak dianggap sebagai barang antik menurut hukum Israel dan oleh para arkeolog, lapisan ini dipandang sebagai sesuatu yang harus dilewatkan saja untuk sampai ke barang antik tersebut,” kata Greenberg.
“Sementara kami, ingin melakukan yang sebaliknya dan menghormati keberadaan lapisan atas,” sambungnya seperti dikutip dari Haaretz.
Sulimani menyebutkan, meskipun penyelidikan arkeologi pada masa lalu telah menjadi praktik umum di luar negeri, di Israel hal ini masih belum pernah dilakukan, terutama karena hal tersebut berkaitan dengan peristiwa Nakba.
Peringatan Nakba masih sangat kontroversial di Israel, begitu juga dengan pertanyaan seputar kejadiannya, seperti sejauh mana warga Palestina diusir secara paksa oleh Israel, melarikan diri di tengah pertempuran, atau mengindahkan seruan pemimpin mereka sendiri untuk meninggalkan negara Yahudi yang baru lahir tersebut.
Setelah negara-negara Arab menolak pembagian Palestina berdasarkan Mandatori Inggris yang dilakukan PBB pada bulan November 1947, perang pecah antara pasukan Yahudi pra-negara Israel dan milisi lokal Palestina, yang kemudian didukung oleh sukarelawan dan tentara penyerang dari negara-negara tetangga.
Israel selamat dan pada akhir perang tahun 1949, sebagian besar penduduk Arab Palestina (700 ribu-750 ribu orang dari 900 ribu orang) telah tercerabut haknya dan tinggal di kamp-kamp pengungsi di negara-negara tetangga. Jutaan keturunan mereka masih hidup merana hingga hari ini.
“Dalam sejarah lisan mereka, penduduk desa menggambarkan kehidupan hingga saat mereka pergi, dan sejarawan telah mencatat rincian pertempuran yang terjadi di dekatnya,” jelas Greenberg.
“Tetapi kita tidak mengetahui apa-apa tentang perang selama empat bulan setelah eksodus penduduk desa, serta rangkaian peristiwa yang menyebabkan kehancuran total tempat tinggal mereka: itulah yang ingin kami pulihkan,” sebutnya.
Simak Video “Penampakan Barak Pengungsian di Gaza, Warga Keluhkan Tak Ada Makanan”
[Gambas:Video 20detik]
(rns/rns)