Jakarta –
Desa Qadas ditinggalkan penduduk Palestina saat Peristiwa Nakba pecah di tahun 1948. Wilayah ini kemudian dibuldoser oleh otoritas Israel sehingga para pengungsi tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan kembali rumah dan tanah mereka.
Untuk diketahui, Peristiwa Nakba terjadi selama dan setelah perang di Palestina tahun 1948. Peristiwa memilukan ini melibatkan terjadinya pendirian negara Israel, eksodus 700 ribu orang Palestina, depopulasi dan penghancuran lebih dari 500 desa Palestina, penghapusan geografis, penyangkalan hak Palestina untuk kembali, hingga penciptaan pengungsi permanen Palestina dan penghancuran besar-besaran masyarakat Palestina.
Salah satu desa yang ditinggalkan, yakni Desa Qadas, sebagian besar tetap utuh di puncak Tel Qedesh dalam beberapa dekade berikutnya setelah perang, bahkan ketika lahan pertaniannya dibagi-bagi ke kibbutzim dan kota-kota sekitarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahun 1966, Qadas dan puluhan desa-desa Palestina yang ditinggalkan lainnya dihancurkan menjelang pencabutan kekuasaan militer yang diberlakukan Israel terhadap sisa penduduk Arab Palestina sejak perang.
“Penghancuran tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa setelah pembatasan pergerakan dicabut, warga Palestina yang terlantar tidak dapat kembali untuk mendapatkan kembali tanah dan rumah mereka,” kata Prof. Raphael Greenberg dari Tel Aviv University yang memimpin proyek ini bersama dengan arkeolog independen Gideon Sulimani.
“Tujuannya agar tidak ada tempat untuk kembali, sehingga desa tersebut dibuldoser dan dihapus dari peta,” sebut Greenberg seperti dikutip dari Haaretz.
Israel dipenuhi dengan gundukan yang terbentuk dari sisa-sisa pemukiman manusia yang bertingkat dan dibangun di atas satu sama lain selama ribuan tahun.
Dalam banyak kasus, lapisan atas gundukan ini merupakan pemukiman Arab seperti Qadas yang ditinggalkan pada tahun 1948 dan mungkin sudah ada sejak Zaman Ottoman atau bahkan sebelumnya.
Namun Greenberg dan Sulimani mencatat, para arkeolog yang bekerja di Israel akan selalu menggali di sekitar atau melalui lapisan atas ini untuk mendapatkan sisa-sisa yang lebih ‘segar’ di bawahnya, yang sesuai dengan kepentingan Israel.
Wilayah ini diubah menjadi taman nasional dan lapisan-lapisan yang lebih kuno menjadi sasaran penyelidikan arkeologis yang intensif selama bertahun-tahun.
Berdasarkan informasi yang dipampang otoritas taman nasional, disebutkan bahwa situs itu bermula sebagai kota besar pada Zaman Perunggu Awal, sekitar 5.000 tahun yang lalu.
Dicantumkan pula bahwa wilayah ini disebut dalam Alkitab sebagai kota Israel, berubah menjadi kota Helenistik, dan tempat kuil dan kuburan penting era Romawi berada. Papan petunjuk tersebut bahkan mendeskripsikan ‘pemandangan indah’ dan keberadaan ‘hutan pohon pistachio Atlantik’ pada masanya. Sedangkan Desa Qadas dan sejarahnya sama sekali tidak disebutkan.
Penggalian Desa Qadas. Foto: Sasha Flit via Haaretz
Arkeolog Berperan dalam ‘Penghapusan’ Palestina
Arkeolog terbelah mengenai hal ini. Sebagian arkeolog memainkan peran penting dalam penghapusan Palestina, terutama ketika mereka berpartisipasi dalam survei sebelum penghancuran tahun 1966. Arkeolog lainnya, ingin menelusuri kebenaran hakiki terutama mengenai sejarah bangsa Israel.
“Arkeolog ikut memutuskan apa yang harus dilestarikan untuk anak cucu sebagai barang antik yang berharga dan apa yang bisa dibuldoser,” kata Greenberg.
“Kami mengenal orang-orang ini, beberapa di antaranya adalah kolega atau guru kami. Sebagai arkeolog dan warga Israel, kami ingin tahu apa yang dilakukan atas nama kami,” kata Greenberg sambil menunjukkan laporan survei dari para arkeolog yang menyetujui pembongkaran tersebut.
Liora Kolska Horwitz, seorang arkeolog dari Ibrani University dan salah satu penggagas proyek penggalian Qadas, selama bertahun-tahun telah mendorong dilakukannya penggalian arkeologi semacam ini.
“Tetapi sebagian besar situs ini berada di tanah negara, Anda tidak bisa begitu saja pergi dan memilih desa, dan tidak mungkin kami mendapatkan izin khusus untuk menjelajahi desa tersebut,” ujarnya.
“Tujuan kami adalah mendorong para arkeolog untuk mendokumentasikan desa-desa di lokasi yang mereka gali, terlepas dari pandangan politik mereka, hanya karena ini merupakan praktik arkeologi yang baik. Tetapi kami juga ingin menggunakan temuan material untuk menghadapi sejarah kami sendiri,” kata Kolska Horwitz.
Tidak seperti kebanyakan penggalian arkeologi dengan fondasi bangunan kuno terlihat jelas, area Qadas yang dikerjakan Greenberg dan rekan-rekannya lebih terlihat seperti sebuah tambang atau lapangan yang dipenuhi batu secara acak. Dibutuhkan mata yang terlatih untuk melihat garis samar bangunan-bangunan tua.
“Kehancuran (pada tahun 1966) begitu dahsyat sehingga kami bahkan tidak dapat mengidentifikasi fondasi banyak bangunan. Saya dapat menemukan tembok yang berasal dari tahun 3000 SM yang kondisinya lebih baik,” kata Greenberg, yang bidang penelitian aslinya adalah ‘Zaman Perunggu di Levant’.
Proyek penggalian Qadas sejauh ini tidak terlalu diperhatikan di Israel, dan untuk pertama kalinya dibahas secara publik, sebagian karena para arkeolog tidak ingin membahayakan kontak tidak langsung dengan komunitas Palestina.
Namun, mereka menunjukkan situs tersebut kepada rekan-rekan Israel dan penduduk setempat yang tertarik dari komunitas sekitar. Reaksi dari orang-orang itu pun beragam.
“Kebanyakan ulama yang lebih tua diam, mereka melakukan tur dan tidak bertanya apa pun. Mungkin mereka tidak ingin menyinggung perasaan kami, namun kami merasa diam sebenarnya adalah reaksi terburuk yang kami dapatkan,” kata Greenberg.
“Generasi muda cenderung terkejut, mereka menyadari bahwa ini adalah sesuatu yang berbeda dari penggalian pada umumnya, bahkan di antara mereka ada yang marah karena cerita ini dirahasiakan, apalagi jika mereka adalah orang-orang yang tinggal di daerah tersebut,” sambungnya.
Proyek Qadas berfungsi sebagai ‘model penting’ bagi para arkeolog Israel yang sedang mengalami kebangkitan perlahan tentang kontribusi yang mungkin mereka berikan terhadap studi sejarah terkini.
“Ide di balik proyek semacam ini adalah untuk menginspirasi jenis arkeologi yang berbeda di Israel,” kata Greenberg.
“Inggris dan negara kolonial lainnya menggunakan arkeologi sebagai alat imperialisme, membawa pulang artefak untuk memenuhi museum mereka. Para arkeolog Israel mewarisi sikap ini, dengan tambahan etos bahwa tugas mereka adalah, pertama dan terutama, menemukan bukti hubungan historis orang-orang Yahudi dengan tanah tersebut,” catatnya.
Simak Video “Lagi! Israel Bombardir Kamp Pengungsi Jabalia, 30 Orang Tewas”
[Gambas:Video 20detik]
(rns/rns)