Jakarta –
Sejumlah bank di Singapura memperketat pemeriksaan terhadap sejumlah klien berdarah China yang berkewarganegaraan Republik Rakyat China (RRC).
Hal ini dilakukan setelah adanya kasus pencucian uang pada Agustus lalu yang nilainya mencapai US$ 1,8 miliar.
Dilansir dari South China Morning Post, sejumlah lembaga keuangan Singapura disebut melakukan melakukan peninjauan terhadap pembukaan rekening baru dan transaksi investasi dengan klien berdarah China yang memiliki paspor RRC.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setidaknya satu bank internasional bahkan sedang menutup beberapa rekening klien berkewarganegaraan Kamboja, Siprus, Turki, dan Vanuatu. “Hal ini diungkap salah seorang narasumber yang identitasnya diminta untuk dirahasiakan,” tulis South China Morning Post, ditulis Kamis (21/9/2023).
Sejumlah sumber lain pun menyebutkan, bahwa berbagai lembaga lain di Singapura kini juga melakukan evaluasi dan mempertimbangkan tawaran investasi dari klien serta melihat profil dan track record investor dari berbagai kasus. Proses ini pun menyebabkan investor memakan waktu lebih lama jika hendak berinvestasi.
Kendati demikian, diketahui bahwa langkah-langkah tersebut merupakan upaya Singapura untuk menjalankan aturan anti pencucian uang atau anti-money-laundering framework. Buktinya, pada 15 Agustus lalu, sebanyak sepuluh pengusaha tajir asal China ditangkap dan diadili oleh penegak hukum.
Kepolisian mengungkap kesepuluh orang kaya tersebut melakukan pencucian uang. Terdapat sekitar 2,4 miliar dollar Singapura atau Rp 27,7 triliun aset yang disita polisi. Sejumlah ini terdiri dari uang tunai, cryptocurrency, dan property.
Para hakim Singapura mengambil sikap menolak jaminan para tersangka. Sebab, kejaksaan Singapura menilai para orang kaya ini bisa melarikan diri karena mempunyai paspor ganda. Meski tinggal di Singapura, kejaksaan menduga mayoritas pengusaha tersebut diduga menjalankan bisnis perjudian ilegal di negara lain.
“Sejumlah tersangka bahkan hanya bisa berbicara dalam bahasa China. Namun, membawa banyak dokumen perjalanan seperti Kamboja, Vanuatu, Siprus, dan Dominika,” tulis South China Morning Post.
Skandal itu pun menyeret sebanyak sepuluh bank lokal dan internasional asal Singapura. Parlemen Singapura pun mempertanyakan efektivitas para bank dalam menangani pemasukan yang diperoleh dengan cara tidak sah. Setidaknya 30 pertanyaan dilontarkan anggota dewan kepada perwakilan kesepuluh bank di ruang sidang parlemen minggu ini.
Menteri Negara Urusan Dalam Negeri Singapura Sun Xueling, mengatakan bahwa pemerintah akan menjawab pertanyaan para anggota parlemen pada Oktober mendatang.
Sementara CEO DBS Piyush Piyush Gupta, sebagai salah satu pihak dituduh terlibat dalam aktivitas gelap tersebut, mengatakan bahwa kerangka regulasi Singapura mengharuskan semua bank untuk mengelola risiko pencucian uang dengan standar tinggi.
Namun, regulasi itu tidak mengharuskan mereka untuk menolak fasilitas atau layanan perbankan kepada klien, baik yang baru atau yang sudah ada, dari asal negara tertentu hanya karena memiliki paspor tertentu.
Gupta, sapaannya, lantas membandingkan proses identifikasi transaksi ilegal seperti mencari jarum dalam tumpukan Jerami “Tidak ada negara yang dapat mencapai nol kejahatan,” katanya.
Adapun Otoritas Moneter Singapura (MAS) pada Rabu (16/8/2023), menjelaskan kini tengah mengawasi sejumlah lembaga keuangan yang menyimpan dana haram tersebut. Regulator akan mengambil tindakan tegas jika lembaga keuangan ditemukan melanggar persyaratan atau memiliki kontrol yang tidak memadai terhadap risiko pencucian uang.
Sebagai informasi, China adalah salah satu negara di dunia yang tidak mengizinkan kewarganegaraan ganda. Namun, pemegang paspor Tiongkok saat ini bisa bepergian tanpa visa ke 80 negara. Adapun Menurut Passport Index Henley & Partners, pemegang paspor asal Siprus, adalah salah satu dengan bebas visa terbesar dengan total 180 negara.
Simak juga Video: Rafael Alun Juga Didakwa Melakukan Pencucian Uang Senilai Rp 100 M
[Gambas:Video 20detik]
(kil/kil)