Jakarta –
Populasi manusia dunia mencapai 8 miliar tahun lalu. Meski Bumi semakin padat, pertumbuhan ini tidak merata. Ada Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan China yang sedang berjuang untuk meningkatkan jumlah penduduknya.
Biro Statistik Nasional China merilis data yang menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya dalam enam dekade, populasi negara itu menurun, dengan kematian melebihi kelahiran.
Untuk meningkatkan angka kelahiran, China telah berjanji untuk meningkatkan perawatan kesehatan ibu dan anak serta memperkenalkan subsidi dan keringanan pajak untuk keluarga. Di beberapa kota, pemerintah daerah bahkan akan memberikan sejumlah besar uang kepada keluarga dengan banyak anak untuk membantu menutupi biaya hidup mereka.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Sementara itu, Korea Selatan yang saat ini memiliki salah satu tingkat kesuburan terendah di dunia, bahkan menawarkan tunjangan penitipan anak dan perumahan gratis. Nyatanya, ‘iming-iming’ itu tidak berhasil. Banyak warga Korea Selatan yang akhirnya memiliki momongan merasa satu anak saja sudah cukup.
“Saya tidak pernah ingin punya anak lagi,” kata Kim Ji-ye, warga Seoul, kepada BBC News. Meski dengan berbagai fasilitas dan dukungan yang diberikan pemerintah, menurutnya, para orang tua di Korea Selatan masih kesulitan dalam mengasuh dan mendidik anaknya.
“Sulit membesarkan satu (anak). Jadi saya hanya ingin fokus pada kesejahteraan bayi saya,” katanya lagi.
Contoh kasus penurunan populasi ‘terburuk’ dapat dilihat di Jepang. Populasi Jepang yang anjlok digambarkan oleh pejabat pemerintah daerah sebagai “situasi kritis” yang dapat melemahkan kekuatan nasional negara tersebut.
“Jepang berada di ambang apakah kita dapat terus berfungsi sebagai masyarakat. Berfokus pada kebijakan anak-anak dan pengasuhan anak sangat mendesak dan tidak dapat ditunda,” kata Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida kepada anggota parlemen.
Populasi Jepang telah menurun selama lebih dari satu dekade, dan tahun 2022 memecahkan rekor kelahiran terendah pada tahun 2021, ketika hanya 811.622 bayi yang lahir.
Biaya hidup Jepang tinggi dan upah tidak naik. Pemerintah menawarkan subsidi untuk kehamilan, persalinan, dan pengasuhan anak, dengan harapan dukungan yang berkelanjutan ini cukup untuk membalikkan keadaan. Sebenarnya tidak semudah itu membalikkan keadaan.
“Kami bertahan hidup dengan memotong tabungan kami sekarang. Suami saya dan saya tidak pernah berpikir untuk memiliki anak kedua,” kata Katahira Kazumi, ibu dari seorang anak berusia empat tahun.
Pada tahun 2021, 5.800 pasangan suami istri Jepang berpartisipasi dalam survei tersebut. Lebih dari setengahnya mengatakan mereka tidak memiliki anak lagi karena alasan keuangan.
Matsuda Shigeki, seorang profesor sosiologi di Universitas Chukyo, mengatakan kepada kantor berita Jepang NHK bahwa dukungan keuangan pemerintah Jepang hanya sekitar setengah atau sepertiga dari apa yang disediakan oleh negara-negara Barat.
Nagi, sebuah kota berpenduduk 5.700 orang di Jepang barat, adalah bagian terpencil dari negara tersebut. Tingkat kesuburan pada tahun 2019 sebesar 2,95, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 1,36.
Orang tua di Nagi menerima 100.000 yen atau sekitar Rp11,5 juta untuk setiap bayi yang lahir, bantuan pengobatan kesuburan, dan biaya pengobatan gratis untuk anak di bawah umur, serta makan siang gratis di sekolah dasar dan menengah.
“Rencana untuk mendukung orang tua baru bergantung pada kelangsungan hidup sebuah kota,” kata pejabat Nagi Moriyasu Eiji.
Simak Video “Gempa M 6,8 Guncang Enggano Bengkulu!”
[Gambas:Video 20detik]
(rns/rns)