liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
Mau Jalan Berbayar di DKI Sukses? Ini Syaratnya

Jakarta

Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan tol elektronik untuk mengurangi kemacetan di ibu kota diprediksi berdampak luas dan berpotensi membebani perekonomian masyarakat. Efek ini terutama akan dirasakan oleh warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang bekerja dan beraktivitas rutin di Jakarta.

Selain itu, dampak terberatnya adalah peningkatan pengeluaran penduduk Jakarta yang tidak diimbangi dengan penyesuaian pendapatan.

“Yang paling terkena dampak kebijakan ini adalah pengguna dengan pendapatan tetap. Misalnya pekerja yang mendapatkan upah minimum. Mereka harus membayar saat melewati jalan yang telah diterapkan kebijakan ERP, baik pengguna mobil maupun motor,” ujar Transportasi Universitas Trisakti. dan Pemerhati Tata Kota Yayat Supriatna, Kamis (2/3/2023).

IKLAN

GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN

Menurut Yayat, kebijakan ERP diprediksi akan meningkatkan biaya perjalanan hingga 50-70 persen. Selain itu, tarif yang diajukan Pemprov DKI Jakarta berkisar Rp 5.000-Rp 19.000 setiap melintasi ruas jalan yang telah ditentukan. Sedangkan jika menggunakan angkutan umum biayanya akan lebih mahal.

“Biaya transportasi harus 10 persen dari pendapatan. Saat ini rata-rata biaya transportasi kita mencapai 30 persen, bahkan ada yang lebih. Mereka yang tinggal di pinggiran Jakarta harus beberapa kali berganti kendaraan jika menggunakan transportasi umum,” tambahnya.

Kebijakan ERP ini, lanjut Yayat, akan berjalan efektif jika didukung dengan integrasi sistem transportasi lainnya. Misalnya, untuk 25 ruas jalan yang akan diimplementasikan ERP, angkutan umum sudah memiliki kapasitas untuk menampung calon pengguna mobil atau sepeda motor yang akan beralih ke jenis angkutan ini.

“Implikasi terbesar adalah dampak terhadap aktivitas ekonomi pada rute ERP karena tidak semua angkutan umum kita melayani wilayah ERP secara optimal. Jika ingin menerapkan ERP, maka lokasi terbaik adalah di koridor angkutan massal berbasis REL, seperti seperti KRL, MRT, atau LRT dengan kapasitas penumpang yang besar, dan itinerary yang pasti,” ujarnya.

Selain itu menurut Yayat, ERP di koridor TransJakarta misalnya masih perlu dimaksimalkan karena jumlah armada yang terbatas. Selain itu, rute Transjakarta atau waktu antar halte juga tidak menentu seperti MRT yang konsisten setiap sepuluh menit. Jika rute TransJakarta melebihi 20 menit atau lebih untuk koridor tertentu akan merugikan penumpang.

“Untuk jalan tanpa angkutan umum cukup sulit. Tergantung TransJakarta ada kendala, karena waktu kedatangan TransJakarta lebih lama, halte bus juga ramai,” ujarnya.

Karena itu, lanjut Yayat, hal yang paling rasional adalah pembuat kebijakan harus memperhatikan aspek waktu dan biaya. Jika tarif ERP lebih rendah, maka mereka yang menggunakan kendaraan pribadi akan tetap menggunakan kendaraan pribadinya. Namun jika tarifnya mahal dan tarif transportasi umumnya lebih murah daripada ERP, maka masyarakat akan cenderung menggunakan angkutan umum di Area ERP.

Untuk itu, Yayat meminta Pemprov DKI mempelajari regulasi ERP secara mendalam sebelum benar-benar diterapkan di ibu kota.

(dna/dna)