Jakarta –
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan, 2023 menjadi tahun yang penuh dengan rekor temperatur ekstrem. Dalam hal ini, terjadi kondisi cuaca panas ekstrem di sejumlah negara di dunia.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, tercatat pada Juli 2023, sejumlah negara mengalami kondisi panas ekstrem. Bahkan di Italia, panas ekstrem ini melanda tatkala musim dingin alias winter. Kondisi ini memberikan tekanan tambahan terhadap krisis air di dunia.
“Juli 2023 Sardinia di Italia suhunya mencapai 48 derajat celcius saat winter. Rhodes Yunani 49 derajat celcius. Maroko lebih dari 47 derajat. Tidak pandang bulu negara maju dan negara berkembang, baik Amerika California, Amerika Latin, nasibnya sama saja, nggak peduli teknologinya maju maupun yang tertinggal,” katanya dalam acara Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045, di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta Pusat, Senin (21/8/2023).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dwikorita mengatakan, di Indonesia peningkatan suhu mulai terasa tatkala menginjak tahun 2000-an. Kenaikan suhu cenderung seragam, dengan tingkat kenaikan yang bervariasi. Tak hanya itu, tren perubahan pola curah hujan juga bervariasi, terkait hari basah, siklus tahunan, hingga awal musim.
“Tren suhu rata-rata tahunan 1951-2021 terdapat tren peningkatan temperatur yang seragam, dengan laju yang bervariasi di wilayah berbeda. Laju peningkatan terbesar ada di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera bagian selatan, dan area Jakarta dan sekitarnya. Beberapa area mengalami peningkatan hingga 0,15 derajat per 10 tahun,” jelasnya.
Selain itu, dari peta BMKG terlihat proyeksi perubahan suhu rata-rata tahunan periode 2020-2049. Kenaikan suhu semakin nyata, salah satunya terlihat potensi kenaikan lebih dari 1,3 derajat celcius di Kalimantan. Apabila tidak dilakukan mitigasi, kenaikan suhu akan berdampak besar pada seluruh pulau-pulau besar di Tanah Air.
“Saat ini sudah naik 1,2 (derajat celcius), kejadiannya ekstrem semakin ekstrem. Kalau nggak ada mitigasi, kenaikannya bisa mencapai 3,5 derajat celcius. Berarti berapa kali lipat dari sekarang, kondisi ekstrem mungkin sudah menjadi kenormalan baru,” ujarnya,
“Proyeksi curah hujan lebatnya semakin sering. Kalau musim kering semakin kering, tapi hujan lebat semakin lebat,” tambahnya.
Ditambah lagi dengan siklus El Nino yang melanda Indonesia hingga akhir tahun. Dwikorita memperkirakan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Aceh, hingga Sulawesi Utara menjadi wilayah super prioritas yang akan terdampak besar, ditambah dengan kawasan-kawasan yang berlokasi di sepanjang garis khatulistiwa.
Food and Agriculture Organization (FAO) memprediksikan lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80% stok pangan dunia adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Karena itu, ia menilai, dampak perubahan iklim tak hanya berdampak pada kenaikan permukaan air laut, tetapi juga pada penyempitan lahan hingga pangan semakin berkurang.
“Krisi air berkaitan dengan kerentanan ketahanan pangan. Diprediksi pada 2050-an sudah terjadi peningkatan kerentanan pada stok pangan dunia. Itu melanda hampir semua negara, termasuk Indonesia,” katanya.
“Kita mau impor beras dari mana? Semuanya lebih parah dari Indonesia,” pungkasnya.
(shc/ara)